Beda kain pulau Sawu dan Sumba terletak pada warnamya dan pada pengaruh motif India dan Eropa
Kain tenun dari pulau Sawu (terletak diantara Timor dan Sumba) tak kalah indahnya dari kain tenun Sumba meskipun memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Kain tenun yang dibuat oleh masyarakat pulau Sawu cenderung lebih ‘teduh’ warnanya jika dibandingkan kain tenun Sumba. Kain sarung maupun selendang umumnya berwarna cokelat, biru gelap, hitam, dan kadang-kadang merah pucat dengan alur-alur corak bilah yang terdiri dari motif geometris atau motif-motif yang dipengaruhi budaya Eropa (Belanda).
Salah satu aspek terpenting dari kain tenun bagi masyarakat Sawu pada awalnya ialah sebagai sistem penanda marga. Meskipun kini hal itu tidak diterapkan lagi namun mereka masih bisa membedakan asal keluarga atau marga masing-masing. Setiap kelompok atau marga masing-masing mengenakan jenis sarung atau selimut tertentu. Kaum perempuan Sawu mengenakan sarung berwarna merah dengan corak ikat berwarna putih dan garis-garis kecil berwarna hitam dan putih. Sarung yang dikenakan oleh perempuan dari marga yang besar yaitu Hubi’ae, disebut sarung raja. Baik sarung raja maupun yang dikenakan oleh kaum perempuan dari marga yang lebih kecil, yaitu Hubi’iki, memiliki satu kesamaan yaitu berupa bilah memanjang yang terdapat pada bagian atas dan bawah sarung. Marga yang lebih besar yang mengenakan sarung raja, terbagi dalam tiga sub-marga yang lebih kecil, dan setiap sub-marga tersebut harus menggunakan corak yang berbeda pada kain sarungnya. Salah satu corak tersebut adalah corak tutu yang terdiri dari stilasi burung dan bunga. Sedangkan sarung yang dikenakan oleh para perempuan dari marga yang lebih kecil selalu menampilkan motif yang sama, yaitu motif le’do yang merupakan stilasi dari bentuk ular dan bunga. Le’do juga merupakan nama dari sarung itu sendiri.
Berdasarkan adat-istiadat Sawu, kaum lelaki dari marga yang lebih besar (Hubi’ae) mengenakan selimut yang terdiri dari dua warna yang dihiasi motif-motif tradisional, antara lain boda yang menggambarkan bentuk bunga dan garis-garis zig-zag yang disebut kekamahaba yang menggambarkan daun pohon lontar yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Sawu. Selain itu ada juga motif moto (bintang) dan motif dula. Motif-motif tersebut bersusun berupa bilah-bilah yang diletakkan sejajar berjarak sama. Ruang kosong di antara bilah-bilah itu disisi oleh corak garis-garis yang terdiri dari dua warna.
Motif-motif tradisional utama pada kain tenun dari pulau Sawu ini ialah hebe dan makaba yang berupa gambaran bunga berbentuk medali dan bisa jadi motif ini merupakan pengaruh dari kain patola. Kain patola yang berasal dari Gujarat, India ini memang merupakan kain yang berharga bagi masyarakat Sawu. Jadi tidaklah heran jika mereka pun mencoba menyadur motif yang terdapat pada kain patola untuk diterapkan pada kain tenun mereka. Selain dipengaruhi oleh motif yang terdapat pada kain yang berasal dari India, pada kain tenun ikat dari Sawu ini kita dapat melihat motif-motif yang merupakan pengaruh dari budaya Portugis dan Belanda. Kain sarung dan selimut yang disebut waropi yang memiliki motif ikat terdiri dari dua warna memiliki motif bunga mawar yang merupakan pengaruh budaya Eropa. Selain motif bunga mawar ada pula motif suluran daun anggur, burung dan singa. Kisah menarik lain dari kain Pulau Sawu adalah tentang motif tradisional dan inspirasinya bagi perancang kita.
Sumber: www.fashionpromagazine
No comments:
Post a Comment